immawati waddah

immawati waddah

Senin, 02 April 2012

jilbab dalam multiidentitas

ANALISIS WACANA
“ JILBAB”  DALAM  MULTIIDENTITAS
 Belakangan ini jilbab menjadi sebuah bahan diskursus yang sangat marak dibicarakan oleh banyak kalangan baik dari kalangan agamais sampai kalangan aktifis, setelah isu gender yang cukup represif dan menimbulkan wacana yang sangat pro dan kontra kini dimunculkan isu jilbab yang sedikit banyaknya akan mempengaruhi perempuan – perempuan muslimah dalam mempertahankan salah satu identitas keberagamaanya melalui hijab yang kita sebut jilbab sehingga jilbab itu sendiri mengalami pergeseran makna yang sangat signifikan, Apakah jilbab merupakan sebuah ekspresi kultural Arab ataukah substansi ajaran agama; Apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan identitas seseorang? Pertanyaan- pertanyaan seperti inilah  yang  sampai detik ini masih ditanggapi secara multiintrepretasi dari berbagai kalangan pula, sehingga perempuan – perempuan muslimah hari inipun semakin canggung bahkan terkesan mengalami absurditas dalam menghadapi arus globalisasi dalam kaitannya dengan jilbab. Sebelum Islam datang ke tanah Arab, jilbab  bahkan cadar dipandang sebagai symbol ketundukan perempuan terhadap laki-laki. Jilbab juga sebagai simbol rendahnya posisi perempuan (inperior) di hadapan laki-laki (superior). Bahkan  sebagian feminis memandang jilbab sebagai bentuk penindasan perempuan, mereka menganggap  jilbab sungguh-sungguh mewacanakan aurat ketubuhan perempuan yang dianggap sebagai dosa (dalam agama tertentu) dan pembuat dosa. Pengukuhan ini diperkuat dengan pengakuan bahwa jilbab adalah sebuah lambang kebaikan untuk menutupi sebuah kejahatan. Bagi mereka jilbab adalah  ladang investasi bagi ideologi patriarki, yang menciptakan benih-benih kekerasan terhadap perempuan berbasis gender. Jilbab secara tidak langsung mengukuhkan bahwa tubuh perempuanlah yang bersalah atas kasus-kasus terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Tubuh perempuan juga masih dianggap sebuah bentuk tabu dan sumber masalah.  jilbabisasi pula secara tidak langsung telah mendeskriditkan perempuan yang tidak menggunakan jilbab. Asumsi perempuan jilbab sebagai perempuan yang agamis dan berakhlak mulia, memproduksi makna bahwa perempuan yang belum menggunakan jilbab merupakan perempuan yang belum agamis. Perempuan yang masih belum berada dalam keadaan dijalan yang benar. Lebih parah dari itu, ada yang berpandangan bahwa Jilbab identik dengan keterbelakangan dan kebodohan.
Asumsi yang menentang diwajibkannya jilbab diatas bagi saya hanyalah sebuah pendapat yang sangat  personal dan tidak berbasis realitas, kalau kita pernah membaca hikayat tentang jilbab itu sendiri ternyata berdasarkan fakta – fakta sejarah, ditemukan bahwa jilbab atau lebih luasnya disebut hijab itu telah ada pada peradaban- peradaban jauh sebelum peradaban islam itu datang, pada peradaban yunani dan kemungkinan besar di india, bahkan  hampir semua agama  mengenal jilbab,  dan  sudah dikenal sebelum agama samawi dan dalam qitab –qitab  suci agama lain (taurat , injil) ditemukan pula kata yang semakna dengan jilbab, maka dari itu terlepas dri kewajiban memakai jilbab, sejarah telah mencatat bahwa jilbab sendiri telah menjadi pakaian kebesaran sebagian besar agama bahkan menjadi tradisi dan identitas kebaikan, kesopanan, dan ketaatan  sebuah peradaban.
Disisi lain seiring dengan berjalannya waktu, jilbab pun tidak terlepas dari pengaruh arus globalisasi, aras kebutuhan manusia berakselerasi dengan kemajuan zaman. Jilbab menjadi fenomena yang sangat kompleks tidak hanya menjadi identitas kebergamaan tetapi telah berubah menjadi identitas kultural yang juga pada awalnya mengusung nilai – nilai spiritual dan menjadi counter terhadap kebudayaan – kebudayaan barat atau menjadi simbol perlawanan hegemoni barat yang disebut sekularisme. Dalam konteks kekinian, globalisasi dengan segala kekuatannya telah membawa jilbab dalam pusaran makna yang sangat multiinterpretasi yang berujung pada satu kata yakni “ multiidentitas”,afisiliasi dengan media massa dan teknologi industri telah membawa jilbab tampil dalam pusaran ruang publik yang lebih longgar. Pasca pilpres tahun 2009 di indonesia seringkali kita dengar kata “politisasi jilbab”, dari sisi realitas sosial- politik  isu-isu seputar simbolisme agama menjadi trend dadakan dan memiliki daya tarik tersendiri untuk "dieksploitasi" secara politis. Coba kita lihat, mulai dari bupati sampai gubernur, terlebih para caleg DPR-DPRD, ramai- ramai mengenakan jilbab ketika musim pemilihan tiba. Pesannya tidak lebih sebagai identitas diri. Dengan cara itu mereka berharap mendapat kepercayaan rakya  tuntuk dipilih. Inilah yang saya maksud dengan  politisasi jilbab. Dalam realitas masyarakat kita hari ini jilbab telah  menjelma menjadi fenomena yang sangat majemuk, memiliki tingkatan makna dan beragam konteks, jilbab terkadang tampil menjadi simbol ideologis bagi para pemakai yang mengilmuinya, menjadi simbol komunitas patriarki dalam konteks sosial budaya, bahkan ada yang menganggap menjadi simbol keterbatasan kaum wanita. Dalam dunia feysen yang tentunya tidak terlepas dari hegemoni globalisasi terjadi perebutan medan makna yang sangat kuat Sehingga orang mengenakan jilbab saat ini bukan semata-mata karena ia memang ingin berjilbab, tapi karena lebih sekedar mengikuti mode dan tren yang berkembang. Apalagi dengan berbagai modifikasi yang dikesankan sebagai produk high fashion yang didesain dan dibuat secara khusus oleh seorang desainer. Dampak dari semua ini akhirnya menimbulkan penyakit baru yang menjangkiti para perempuan –perempuan  muslimah yang disebut “hipermoralitas” yakni tindakan yang menyimpang dari standar moral atau lebih tepat jika dikatakan penjaga moral yang melakukan tindakan amoral, ada banyak sekali bentuk – bentuk hipermoralitas perempuan yang mengenakan jilbab.  Hari ini sangat banyak sekali kita jumpai diruang – ruang publik dan dalam kehidupan keseharian kita misalnya:  pertama, Pacaran,  akhir 2006, sebuah isu mengungkap  kejadian yang sangat membuat miris orang yang membaca, namun sayangnya hal tersebut merupakan hal yang biasa di kota-kota besar di sebuah kota yang terkenal dengan jumlah universitas-nya, ditemukan seorang waita berjilbab melakukan hubungan intim dalam box warnet bersama seorang lelaki yang diasumsikan sebagai pacarnya. (Word press.com). kedua, Jilbab diluar telanjang didalam, saya pernah menjumpai seorang mahasiswi yang menempuh pendidikan di sebuah universitas yang mewajibkan seluruh mahasiswinya berjilbab, membuka jilbabnya dipinggir jalan dan melambai- lambaikannya untuk menahan kendaraan, hanya berjilbab ketika kekampus selainnya dia memakai pakaian sexi yang sangat kontras dengan penampilan sebelumnya. Ketiga, Jilbab dimasa tua telanjang dimasa muda, banyak perempuan ketika diminta untuk berjilbab,  jawaban mereka beragam. Ada yang menjawab, belum siaplah atau hatinya belum mantap. Ada juga yang menjawab, ”Biar hati saya dulu yang berjilbab”. Kalau menunggu hatinya mantap atau siap, lalu kapan memakai jilbabnya? Kalau hati dulu yang berjilbab, kan bisa tuh sambil belajar memakai jilbab kita juga bisa sekalian belajar membenahi diri kita. Ada juga yang tidak memakai jilbab karena takut kecantikannya tertutupi. Emang kalau gak pakai jilbab cantik ya???mereka  baru mau mengenakan jilbab ketika sudah menginjak lansia(lanjut usia), padahal salah satu alasan kita diwajibkan memakai jilbab adalah untuk menutupi aurat(tubuh) agar tidak menimbulkan fitnah dan prasangka yang muncul karena nafsu. Termasuk sebuah bentuk hipermoralitas ketika masih banyak perempuan yang menganggap jilbab merampas hak –hak kodrati kaum perempuan bahkan dianggap sebagai penghinaan, tapi kita harus tahu dulu hak – hak kodrati seperti apa yang dimaksud, apakah kebebasan bekerja, berpartisipasi aktif dalam sosial, politik dan ekonomi ataukah kebebasan  berbaju minim, kebebasan ke klubing dan ke parti – parti dengan musik yang menghentak – hentak, kalau kebebasan seperti ini yang dimaksud maka betul!!!!!! jilbab adalah pengekang bagi kebebasan tersebut. Dalam konteks islam kebebasan adalah kemerdekaan manusia mengendalikan diri dan gerakannya dalam batas – batas syariah, dalam sejarah para shahabiyah dan istri – istri nabi  permpuan pun bebas berexpresi tanpa harus terbebani dengan pemakaian jilbab, justru sebaliknya jilbab mengingatkan kita untuk tidak terjebak pada berbagai manifestasi kebebasan yang didorong oleh nafsu – nafsu rendah. Lebih baik manakah kita memandang, jika seorang perempuan keluar rumah beraktifitas dengan penuh kesederhanann dan kewibawaan serta ketenangan dengan jilbab islami dibandingkan dengan perempuan yang menghabiskan waktu berjam – jam didepan cermin dan keluar dengan penuh keinginan memikat pandangan laki – laki padanya serta menjadikan laki- laki bertekut lutut dibawah nafsunya bahkan kehilangan akal sehatnya.
 Kehadiran Islam dengan seperangkat ajarannya, termasuk berkaitan dengan  penutup aurat adalah dalam upaya mengangkat harkat martabat wanita yang sudah terpuruk tersebut. Islam adalah agama fitrah. Semua isi ajarannya tidak ada yang bertentangan dengan fitrah, bahkan melindungi fitrah manusia. Memberi ruang yang cukup bagi fitrah manusia sebagai makhluk sosial untuk berinteraksi dengan sesama. Islam justru memberikan panduan agar interaksi tersebut dapat berjalan dengan baik, bermartabat, juga menjunjung tinggi nilai kemuliaan yang ada pada manusia sehingga kita tidak terperosok ke dalam kebebasan semu yang justru sangat merugikan. Jilbab sama sekali bukan belenggu, yang membatasi gerak dan langkah muslimah untuk bermuamalah. Justru sebaliknya sebagai landasan bermuamalah agar dapat berjalan dengan lebih baik, terhindar dari fitnah dan lebih memuliakan pemakainya, yang dalam ajaran Islam disebut saddudz dzara’i atau tindakan preventif. Menjaga kesucian, menutup pintu – pintu maksiat dan kemudharatan, dan mencegah berhembusnya fitnah. “Hai Nabi, katakanlah kepada istri – istrimu, anak – anak perempuanmu dan istri – istri orang Mukmin : ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka tidak di ganggu. ALLAH maha Pengampun dan lagi Maha Penyayang.” (QS Al- Ahzab : 59.). Di  dalam jilbab terselip fungsi ta’lim (pengajaran), tazkiyah (penyucian), tarbiyah (pembinaan), tashfiyah (pemurnian cara pandang) juga tarqiyah (peningkatan kualitas kepribadian). Maka tidak ada lagi alasan bagi kita parah muslimah khususnya IMMawati untuk  melakukan pendangkalan makna terhadap jilbab, salah satu simbol gerakan spiritualtas sebagai ciri gerakan IMMawati adalah menjadikan jilbab sebagai filter gerakan modernitas (sekularisme). Terakhir pada tulisan ini saya ingin menyampaikan bahwa, tidaklah dianggap berjilbab seorang muslimah yangb tidak bisa menjaga akhlaknya , walau secara fisik memakai jilbab sebab ada kesatuan antara dimensi fisik dan ruhaniah yang tidak bisa dipisahkan .jilbab akan mencegah kita dari penyimpangan dan kemerosotan akhlak serta menjadi imunitas diri terhadap hal yang mengancam kita dari dekadensi moral


NB: tulisan ini di buat berdasarkan analisis wacana tentang jilbab selama beberapa tahun dan berdasarkan analisis kebutuhan dinda – dindaku  immawati di pimpinan komisariat yang tak pernah bosan – bosannya memanggil saya untuk membawa kajian tentang jilbab bahkan hampir setiap minggu.....semoga tulisan ini mampu memberikan sedikit inspirasi buat kalian adindaku(tpi yang sering ikut kajian rutin pasti sdah sangat paham akan yang saya sampaikan pada tulisan diatas!!!!!!!!!!!!)
 Semoga Immawati hari ini bukan lagi menjadi” agent of change but to be the the key of change”




Senin, 19 Maret 2012


                          SEGELUMIT KISAH SANG PEREMPUAN
Perempuan dari masa ke masa terus menjadi objek kajian yang dianalisis dari berbagai perspektif. Mulai dari sejarah, mitologi, politik, agama, psikologi, sosial, ekonomi, budaya sampai kepada seksologi. Bagaimanapun kita membantahnya, perempuan ternyata tetap menjadi objek dalam masyarakat. Sampai-sampai banyak studi di perguruan tinggi (termasuk di Indonesia) yang memfokuskan kajian kepada persoalan perempuan, dengan memakai terminologi lain yaitu gender. Dalam konteks politik-kenegaraanpun, ternyata perempuan memperoleh ruang politik tersendiri, dengan adanya kementerian pemberdayaan perempuan. Kita tak mengenal ada “kementerian pemberdayaan pria“. Begitu juga dalam konteks parlemen, dalam regulasi Pemilu pada 2009 secara eksplisit keterwakilan perempuan fardhu hukumnya bagi partai politik di parlemen, minimal 30 %. Kenyataan ini tentu menjadi suatu perkembangan “keperempuanan” dalam politik nasional. Pentas politik nasionalpun pernah menempatkan seorang presiden perempuan pertama yang memerintah ratusan juta rakyat Indonesia. Kenyataan ini sungguh menarik perhatian kita terhadap perempuan.
Ketertarikan terhadap perempuan tersebut tak hanya secara psikologis-seksual semata, dari lawan jenisnya yang bernama pria. Tetapi melampui sekedar ruang seksualitas-psikologis yang bersifat biologis. Secara historis sebenarnya penempatan perempuan ke dalam center of gravity dari peradaban manusia telah terkonstruksi sejak zaman Adam dan Hawa. Perempuan dikonstruksi sedemikian rupa oleh sejarah, sehingga menjadi daya tarik peradaban bahkan pembentuk peradaban itu sendiri. Namun yang tak harus kita lupakan begitu saja adalah intervensi teologis dimensi ketuhanan, yang tak mau ketinggalan untuk melibatkan dirinya membentuk sejarah perempuan. Dalam agama-agama samawi secara normatif-teologis dijelaskan kedudukan perempuan dalam pembentuk sejarah umat manusia. Di saat Adam tercipta, naluri kelelakian (maskulinitas) beriringan muncul dalam proses penciptaannya. Walaupun saya pikir bahwa konsep maskulin, pria/laki-laki atau jenis kelamin belumlah terkonstruksi secara sosial pada saat itu. Karena belum ada pembanding atau lawan yang equal posisinya. Analoginya tidak ada konsep panas, jika tidak ada dingin. Tidak ada panjang kalau tak ada pendek. Tidak ada warna hitam jika tak ada konsep warna kuning, putih, abu-abu, merah, hijau dan sebagainya. Seperti yang dikenalkan Derrida sebagai oposisi biner.
Penciptaan Adam yang fenomenal dan penuh “skenario teologis” tersebut, makin bertambah kompleks ketika naluriah dia membutuhkan pendamping. Mulailah pada saat itu sejarah keperempuanan terbentuk dan berpengaruh terhadap eksistensi peradaban umat manusia. Hawa yang diciptakan Tuhan konon berasal dari tulang rusuk Adam menjelma menjadi sosok makhluk Tuhan dengan karakter keperempuanannya (feminin). Senanglah kemudian perasaan Adam, sebab ada sosok yang selalu berada di sisinya dengan segala ketundukkan yang penuh terhadap Adam. Penciptaan Hawa untuk mendampingi Adam memulai beragam interpretasi terhadap perempuan dan bermacam mitos yang senantiasa lekat pada perempuan tersebut. Dari sinilah mitologi perempuan mulai berkembang.
Sebagai mahkluk pilihan yang menempati surga, kehidupan sepasang manusia ini mendapatkan segala keinginannya. Kesejahteraan, kebahagiaan, kesenangan menjadi cerita sehari-hari mereka di surga. Namun Tuhan ternyata tidak memberikan kesenangan tersebut 100 % persen kepada mereka, karena kedua manusia ini dilarang untuk menyentuh sebuah pohon yang bernama Khuldi. Terlepas dari simbolisasi apakah Khuldi ini adalah objek tertentu atau perbuatan, yang jelas Tuhan tak rela jika mereka mendekatinya apalagi memakannya. Namun karena godaan Iblis (yang pasti selalu muncul dalam sejarah manusia) yang mengubah wujudnya menjadi seekor ular, menggoda Hawa untuk merayu Adam memakan Khuldi terlarang itu. Karena sifat kemaskulinan Adam, yaitu mudah tergoda oleh bujuk rayu apalagi dari seorang perempuan yang dicinta, maka dengan berani Adam melanggar larangan Tuhan tadi. Adampun berani mendekati, meyentuh dan memakan buah terlarang. Dari sinilah mitologi perempuan menjadi lebih kompleks dan renyah untuk dibaca.
Sebagai pasangan yang baik, Adam menawarkan kepada Hawa untuk mencicipi juga buah terlarang itu. Karena permintaan sang pujaan hati, Hawa tak malu-malu untuk segera mencoba memakannya. Giginya yang rapi mulai mengunyah buah tersebut, dirasa-rasa sungguh enak nian rasa buah ini. Teruslah gigi dan lidahnya berkecamuk, beradu untuk kemudian serentak menelan kunyahan buah yang gurih. Kunyahan buah itu sampai di tenggorokan Hawa, dan segera berlari menuju bagian di bawah tenggorokan. Sebelum sampai di lambung, ternyata buah yang dikunyah itu tak mau beranjak dan terus diam di tubuh bagian dada Hawa. Maka tumpukan buah Khuldi yang dikunyah oleh Hawa tersebut, mendadak tumbuh menjadi gumpalan daging yang menonjol. Tonjolan di wilayah dada Hawa itu kemudian dikenal dengan nama payudara. Perjalanan buah terlarang ini tak hanya sampai di wilayah dada Hawa yang tumbuh bernama payudara saja. Tetapi terus masuk perlahan ke dalam lambungnya yang kecil untuk diremas-remas sesuai mekanisme biologis-kimiawi.
Di dalam lambung Hawa, buah terlarang tersebut telah mengecil dan dirasakan efek kandungan dari buahnya. Namun ternyata masih ada sisa-sisa ampas buah Khuldi yang mengendap di dalam pencernaannya. Kemudian ampas-ampas buah ini berhasil juga keluar  melalui bagian tubuh vitalnya. Inilah yang dalam perspektif biologis disebut sebagai menstruasi. Darah menstruasi dalam mitos perempuan merupakan sisa-sisa buah terlarang yang dimakan oleh Hawa. Inilah setumpuk mitos tentang perempuan yang sukses dikonstruksi dalam peradaban manusia. Begitu juga dengan Adam, buah terlarang yang dimakan bersama Hawa, di saat sampai di tenggorokan, Adampun tak sanggup menelannya untuk sampai ke pencernaan (lambung). Maka kunyahan Khuldi kemudian berubah menjadi benjolan kecil di daerah leher Adam. Secara anatomi tubuh ini kita sebut sebagai jakun atau buah jakun bagi pria. Perempuan dalam peradaban tribal manusia acap kali menjadi objek persembahan kepada para raksasa, dewa atau Iblis. Karena hanya perempuanlah yang berhasil untuk menenangkan kemurkaan para raksasa, dewa atau Iblis. Bahkan pernah ada dalam suatu tradisi, yaitu kewajiban seorang istri mengikuti suaminya yang telah mati, untuk terjun ke dalam pembakaran mayat suaminya (Sati).
Mitologi di sekitar perempuan juga tak hanya berhenti pada Hawa (karena perilakunya tadi kemudian diusir dari surga oleh Tuhan). Kita tahu bahwa Luth sebagai nabipun memiliki istri yang tak patuh pada perintahnya dan Tuhan. Ketika Luth pergi dari negerinya (karena kaumnya mendapat hukuman Tuhan), Tuhan melarang dia dan istrinya untuk melihat ke belakang (negerinya), untuk mengetahui apa yang terjadi. Namun istri Luth tetap melawan perintah tersebut. Hukuman Tuhan langsung dirasakan oleh istrinya ini. Begitu juga sejarah Musa dan Fir’aun yang tak lepas dari intervensi perempuan. Fir’aun tidak akan hancur jika saja dalam sejarah kehidupannya, tidak ada intervensi dari istrinya yang bernama Aisyah. Sebab Musa kecil adalah seorang bayi yang ditemukan hanyut di Sungai Nil oleh istri Sang Ramses. Tatkala istri Fir’aun sedang mandi di tepi Sungai Nil bersama para dayangnya. Kelembutan dan kebaikan hati istri Fir’aun ini, akhirnya menjadi babak sejarah kehancuran baginya. Jika saja istri Fir’aun tidak mengambil, memungut dan membesarkan Musa bersamanya di istana, kita tidak tahu bagaimana kemudian sejarah Musa dan Fir’aun akan tertulis.
Mitos yang mengelilingi perempuan tambah menarik jika dipahami dari sisi teologi. Jika seseorang masuk surga (bagi pria) akan diganjar bidadari. Apalagi para pelaku teror bom yang sedang terjadi saat ini, berorientasi eskatologis untuk mendapatkan 70 bidadari. Pemahaman sederhana kita adalah bidadari merupakan perwujudan dari perempuan di alam eskatologi (akhirat). Tidak ada bidadari laki-laki sebagai kompensasi amal dan ibadah seorang perempuan di dunia. Tampaknya bidadari khusus diperuntukkan bagi kaum pria saja. Teringat pula yang pernah dikatakan nabi bahwa neraka itu kelak akan banyak diisi oleh kaum hawa (perempuan). Perempuanpun pernah diharamkan terlibat dalam politik. Indonesia pernah mengalami era “zona larangan” bagi pemimpin perempuan. Domestikasi tubuh dan kerja perempuan pun menjadi keniscayaan. Bahkan saat ini ada daerah yang mengharamkan perempuan menduduki jabatan top leader (kepala daerah) di tingkat lokal.
Perempuan di ranah politikpun agaknya memiliki paradoknya sendiri. Sejarah memang telah mencatat bahwa Cleopatra pernah memimpin sebuah peradaban Mesir kuno. Tribuana Tunggadewi pernah memimpin Majapahit. Bahkan jika tak ada peran utama seorang Ken Dedes atau Ken Umang, kita tidak tahu apakah sejarah Singosari dan raja-raja Jawa akan dikenal. Dalam dunia modern saat ini, kita melihat Ratu Elizabeth dengan keperempuanannya memimpin negara sekuat Inggris. Ditambah lagi Ratu Beatrix yang memimpin Belanda atau Ratu Margareth di Denmark. Walaupun para ratu tersebut hanya sebagai simbol politik di negaranya, tapi tetap saja mereka adalah seorang perempuan. Perempuan berperan sentral dalam sejarah peradaban manusia. Seorang Isa bin Maryam dilahirkan dari seorang ibu suci yang tak memiliki suami. Maryam menjadi simbol kekudusan dan tanggung jawab yang tinggi sebagai seorang perempuan sekaligus ibu bagi anaknya, yang kelak menjadi pemimpin dunia. Termasuk Muhammad, andaikan Khadijah tidak lahir untuk hidup mendampingi perjuangannya, kita tidak tahu apakah Islam akan sampai di rumah-rumah mayoritas penduduk Indonesia.
Tapi mereka juga tak lepas dari mitos-mitos yang kadang menjadi batu sandungan bagi yang namanya kesetaraan. Bahwa Kartini dilahirkan sebagai personal yang mengintrupsi konstruksi feodalisme budaya yang maskulin, itu benar. Namun budaya kita sudah terlanjur jauh untuk memposisikan pria duduk di singgasana maskulinitasnya. Mitos-mitos di sekitar perempuan dengan sengaja terproduksi, dengan wajah yang sebenarnya tidak ramah bagi mereka. Di sisi lain, para nabi berkata bahwa surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu. Penghormatan yang luar biasa kepada kaum perempuan. Perempuan mempunyai intervensi penting bagi kokohnya suatu negara. Banyak pria yang mengalami disorientasi hidup karena seorang perempuan. Hitler bunuh diri disertai dengan ucapan terakhirnya buat kekasih hati, yaitu Eva Braun.
Tak aneh kemudian jika perempuan memang menjadi mysterium tremendum et fascinans. Konstruksi budaya yang maskulin ini bagi saya bukan untuk dihilangkan. Bagaimanapun juga pengaruh nilai-nilai agama dan teologis sudah terlampau dalam membentuknya. Berbagai gerakan feminisme baik yang radikal ataupun moderat tak akan bisa meruntuhkannya. Maskulinitas telah menjadi suatu “kesadaran ideologis” dalam wajah budaya kita. Kesetaraan gender mungkin saja menjadi utopia belaka. Mitos di sekitar perempuan adalah sebuah produksi sejarah yang sukses menjadi bangunan keimanan. Jika keadaannya seperti itu, bagaimana membentuk suatu bangunan kebudayaan yang setara, antara “yang lelaki” dan “yang perempuan”? Jawabannya adalah beranikah kita berbagi posisi dan peran yang berimbang (equal) dengan “yang lelaki” dan “yang perempuan”. Maka tak ada salahnya jika kita mesti melakukan “revolusi kesadaran” tentang “yang lelaki” dan “yang perempuan”. Bukan malah mengkambinghitamkan sejarah, budaya bahkan agama. Kesadaran kita sebagai makhluk Tuhan (person) yang diciptakan sama adalah kuncinya, bukan karena identitas seksual, gender, psikologi, ekonomi bahkan politik.

Senin, 12 Maret 2012

konsep gerakan immawati


    STRATEGI DAN KONSEP GERAKAN IMMAWATI
Fenomena kontemporer dengan berbagai sajian peristiwa dan wacana-wacana yang bersinggungan dengan masalah perempuan adalah realitas yang mesti diteropong secara multiperspektif. Pengkajian yang mendalam tentang isu keperempuanan dewasa ini mesti disandarkan pada landasan prinsip Agama yang kita pahami. Aksi yang lahir sebagai bentuk penyikapan kita adalah pilihan gerakan yang berorientasi pada proses penyadaran yang tidak bersifat tentatif-reaksioner. Gerakan IMMawati mesti tetap istiqomah pada sebuah prinsip awalnya yakni melakukan proses transformasi nilai yang berorientasi pada pembinaan kader IMMawati menuju kesadaran kolektif kolegial. IMMawati di antara elemen gerakan perempuan lainnya berbeda secara ideologis dan teologisnya. Dua hal ini sangat prinsip dalam tubuh gerakan IMMawati, militansi kader dan progressifitas gerakan adalah interpretasi dari dua hal di atas (ideologi-teologi), yang mesti diterjemahkan dalam praksis gerakan. Dewan pimpinan daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah harus memberikan rumusan formulasi gerakan immawati yang tentu saja disesuaikan dengan konteks keraifan local masing – masing daerah yang bias dipraksiskan pada tataran cabang sampai pada level komisariat. Maka berdasarkan tanwir 2003 yang kemudian revitalisasi kembali dalam tanwir 2009 di bogor yang tertuang dalam grand desing IMMawati maka startegi konsep yang ditawarkan dalam rangka mewujudkan karakter immawati yang ideal sebagai individu dimana individu yang dimaksud adalah:
1. Individu yang kuat secara ideologis, memiliki paradigma profetik.
Pijakan etik profetik menurut Kuntowijoyo adalah derivasi dari misi historis Islam dalam surat Al-Imran 110 :
Ø  Humanisasi yang berpijak pada konsep  amar ma’ruf  yaitu menegakkan kebajikan.
Ø  Liberasi berpijak pada konsep nahi munkar yaitu melakukan perlawanan terhadap  segala bentuk keburukan.Dalam konteks gender adalah pembebasan kesadaran yang ditentukan oleh jenis kelamin kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam perspektif gender.
Ø  Transendensi bepijak pada tu’minuna bi Allah (beriman kepada Allah) dengan menjadikan nilai keimanan sebagai bagian penting dan proses membangun peradaban. Maka humanisasi dan liberasi berdasar pada transendensi.

2. Kritis (intelektual,metodologi terasah, kuat dalam analisa)
3. Skill (skill sesuai minat, kepemimpinan, gerakan)
Untuk mewujudkan hal ini maka telah dibuat strategi pengkaderan: yakni
·         DIKSUSWATI(difokuskan pada pembinaan internal immawati yang dibagi dalam beberapa sub bagian :
Ø  Pembinaan ideology (Ke – IMM – an, dan Ke_ Muhammadiyahan _an)
Ø  Pembinaan Intelektual (tradisi membaca, menulis, dan diskusi)
Ø  Pembinaan kepemimpinan/leadership(individu, masyarakat, bangsa dan negara)
Ø  Pembinaan keterampilan (menulis, kerajinan tangan, informasi dan teknologi)

·          KAJIAN KOMPREHENSIF  yang  dinamakan MESSENGER SCHOOL
Dalam hal ini proses menuju perempuan yang berkemajuan tidak harus dilakukan oleh bidang immawati sendiri akan tetapi lebih prioritas dengan interconected terhadap bidang yang lain.
Strategi perkaderan ini bisa disesuaikan dengan kontek kebutuhan local masing- masing:
1.      Gender mainstreaming
Menjadikan isu gender berbasis nilai-nilai islam menjadi aras utama dalam semua lini dalam perkaderan secara umum di ikatan terutama perkaderan utama. Merumuskan kajian khusus tentang ini sebagai follow-up perkaderan utama atau pendukung.
2.      Affirmative Action
Dalam perkaderan  dan gerakan IMM secara umum penting pula dilakukan yaitu dengan  mendorong terbukanya akses untuk partisipasi secara kuantitas.
3.      Capacity Building dan penguatan konsep diri
Spektrum gerakan yang berfokus pada gender mainstreaming terkadang tidak menengok bahwa pembangunan kapasitas dan penguatan konsep diri harus selalu ditumbuhkan, walaupun persoalan immawati ketika terjadi kevacuuman bukan semata-mata selalu karena minim kapasitas.
4.      Peer Group dan Lembaga Kajian
Peer Group atau kelompok minat studi tentang hal-hal khusus yang dikelola oleh kelompok. Misal kelompok studi tentang teori sosial. Lembaga kajian berfungsi pada ranah research dan publikasi.(Untuk lebih rinci dari strategi perkaderan ini akan dirumuskan modul secara tersendiri).
Ketika menilik sejarah Rosulullah dalam mendakwahkan Islam bersama para sahabiyyah, betapa Islam adalah ajaran yang sempurna dan paripurna dalam menyelesaikan kompleksitas permasalahan yang mendera umat manusia dalam segala lini kehidupan. Saya melihat, ada keterlibatan secara ideologi yang mengiringi setiap permasalahan yang muncul kepermukaan, isu global dengan berbagai antek-anteknya mesti diwaspadai dengan melakukan proses pembendungan secara dini.
IMMawati ke depan diharapkan mampu menjadi kreator-kreator sejati dengan membawa nilai-nilai profetisme gerakan dalam melakukan proses perubahan secara terpadu dn berkesinambungan, sehingga ke depan gerakan IMMawati diharapkan mampu berakselerasi dengan kondisi zaman yang ada tanpa harus tercerabut dari akar transendental yang dipahami secara prinsipil.
IMMawati dengan trikompetensi dasar yang dimiliki adalah sebuah potensi untuk mengemban misi persyarikatan. Kesadaran tauhid tidak dipahami secara statis-evolusioner, tetapi ia adalah spirit dinamis-revolusioner yang mampu melahirkan pemimpin yang visioner dalam mengawal Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Realitas yang terjadi hari ini krisis kepemimpinan yang melanda tubuh IMM adalah sebuah persoalan serius yang mesti ditangani secara bersama oleh mereka yang memakai baju kebesaran kader sejati Muhammadiyah, tak terkecuali IMMawati. Billahifisabililhaq fastabiqulkhaerat jayalah IMM jaya.
I