immawati waddah

immawati waddah

Senin, 02 April 2012

jilbab dalam multiidentitas

ANALISIS WACANA
“ JILBAB”  DALAM  MULTIIDENTITAS
 Belakangan ini jilbab menjadi sebuah bahan diskursus yang sangat marak dibicarakan oleh banyak kalangan baik dari kalangan agamais sampai kalangan aktifis, setelah isu gender yang cukup represif dan menimbulkan wacana yang sangat pro dan kontra kini dimunculkan isu jilbab yang sedikit banyaknya akan mempengaruhi perempuan – perempuan muslimah dalam mempertahankan salah satu identitas keberagamaanya melalui hijab yang kita sebut jilbab sehingga jilbab itu sendiri mengalami pergeseran makna yang sangat signifikan, Apakah jilbab merupakan sebuah ekspresi kultural Arab ataukah substansi ajaran agama; Apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan identitas seseorang? Pertanyaan- pertanyaan seperti inilah  yang  sampai detik ini masih ditanggapi secara multiintrepretasi dari berbagai kalangan pula, sehingga perempuan – perempuan muslimah hari inipun semakin canggung bahkan terkesan mengalami absurditas dalam menghadapi arus globalisasi dalam kaitannya dengan jilbab. Sebelum Islam datang ke tanah Arab, jilbab  bahkan cadar dipandang sebagai symbol ketundukan perempuan terhadap laki-laki. Jilbab juga sebagai simbol rendahnya posisi perempuan (inperior) di hadapan laki-laki (superior). Bahkan  sebagian feminis memandang jilbab sebagai bentuk penindasan perempuan, mereka menganggap  jilbab sungguh-sungguh mewacanakan aurat ketubuhan perempuan yang dianggap sebagai dosa (dalam agama tertentu) dan pembuat dosa. Pengukuhan ini diperkuat dengan pengakuan bahwa jilbab adalah sebuah lambang kebaikan untuk menutupi sebuah kejahatan. Bagi mereka jilbab adalah  ladang investasi bagi ideologi patriarki, yang menciptakan benih-benih kekerasan terhadap perempuan berbasis gender. Jilbab secara tidak langsung mengukuhkan bahwa tubuh perempuanlah yang bersalah atas kasus-kasus terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Tubuh perempuan juga masih dianggap sebuah bentuk tabu dan sumber masalah.  jilbabisasi pula secara tidak langsung telah mendeskriditkan perempuan yang tidak menggunakan jilbab. Asumsi perempuan jilbab sebagai perempuan yang agamis dan berakhlak mulia, memproduksi makna bahwa perempuan yang belum menggunakan jilbab merupakan perempuan yang belum agamis. Perempuan yang masih belum berada dalam keadaan dijalan yang benar. Lebih parah dari itu, ada yang berpandangan bahwa Jilbab identik dengan keterbelakangan dan kebodohan.
Asumsi yang menentang diwajibkannya jilbab diatas bagi saya hanyalah sebuah pendapat yang sangat  personal dan tidak berbasis realitas, kalau kita pernah membaca hikayat tentang jilbab itu sendiri ternyata berdasarkan fakta – fakta sejarah, ditemukan bahwa jilbab atau lebih luasnya disebut hijab itu telah ada pada peradaban- peradaban jauh sebelum peradaban islam itu datang, pada peradaban yunani dan kemungkinan besar di india, bahkan  hampir semua agama  mengenal jilbab,  dan  sudah dikenal sebelum agama samawi dan dalam qitab –qitab  suci agama lain (taurat , injil) ditemukan pula kata yang semakna dengan jilbab, maka dari itu terlepas dri kewajiban memakai jilbab, sejarah telah mencatat bahwa jilbab sendiri telah menjadi pakaian kebesaran sebagian besar agama bahkan menjadi tradisi dan identitas kebaikan, kesopanan, dan ketaatan  sebuah peradaban.
Disisi lain seiring dengan berjalannya waktu, jilbab pun tidak terlepas dari pengaruh arus globalisasi, aras kebutuhan manusia berakselerasi dengan kemajuan zaman. Jilbab menjadi fenomena yang sangat kompleks tidak hanya menjadi identitas kebergamaan tetapi telah berubah menjadi identitas kultural yang juga pada awalnya mengusung nilai – nilai spiritual dan menjadi counter terhadap kebudayaan – kebudayaan barat atau menjadi simbol perlawanan hegemoni barat yang disebut sekularisme. Dalam konteks kekinian, globalisasi dengan segala kekuatannya telah membawa jilbab dalam pusaran makna yang sangat multiinterpretasi yang berujung pada satu kata yakni “ multiidentitas”,afisiliasi dengan media massa dan teknologi industri telah membawa jilbab tampil dalam pusaran ruang publik yang lebih longgar. Pasca pilpres tahun 2009 di indonesia seringkali kita dengar kata “politisasi jilbab”, dari sisi realitas sosial- politik  isu-isu seputar simbolisme agama menjadi trend dadakan dan memiliki daya tarik tersendiri untuk "dieksploitasi" secara politis. Coba kita lihat, mulai dari bupati sampai gubernur, terlebih para caleg DPR-DPRD, ramai- ramai mengenakan jilbab ketika musim pemilihan tiba. Pesannya tidak lebih sebagai identitas diri. Dengan cara itu mereka berharap mendapat kepercayaan rakya  tuntuk dipilih. Inilah yang saya maksud dengan  politisasi jilbab. Dalam realitas masyarakat kita hari ini jilbab telah  menjelma menjadi fenomena yang sangat majemuk, memiliki tingkatan makna dan beragam konteks, jilbab terkadang tampil menjadi simbol ideologis bagi para pemakai yang mengilmuinya, menjadi simbol komunitas patriarki dalam konteks sosial budaya, bahkan ada yang menganggap menjadi simbol keterbatasan kaum wanita. Dalam dunia feysen yang tentunya tidak terlepas dari hegemoni globalisasi terjadi perebutan medan makna yang sangat kuat Sehingga orang mengenakan jilbab saat ini bukan semata-mata karena ia memang ingin berjilbab, tapi karena lebih sekedar mengikuti mode dan tren yang berkembang. Apalagi dengan berbagai modifikasi yang dikesankan sebagai produk high fashion yang didesain dan dibuat secara khusus oleh seorang desainer. Dampak dari semua ini akhirnya menimbulkan penyakit baru yang menjangkiti para perempuan –perempuan  muslimah yang disebut “hipermoralitas” yakni tindakan yang menyimpang dari standar moral atau lebih tepat jika dikatakan penjaga moral yang melakukan tindakan amoral, ada banyak sekali bentuk – bentuk hipermoralitas perempuan yang mengenakan jilbab.  Hari ini sangat banyak sekali kita jumpai diruang – ruang publik dan dalam kehidupan keseharian kita misalnya:  pertama, Pacaran,  akhir 2006, sebuah isu mengungkap  kejadian yang sangat membuat miris orang yang membaca, namun sayangnya hal tersebut merupakan hal yang biasa di kota-kota besar di sebuah kota yang terkenal dengan jumlah universitas-nya, ditemukan seorang waita berjilbab melakukan hubungan intim dalam box warnet bersama seorang lelaki yang diasumsikan sebagai pacarnya. (Word press.com). kedua, Jilbab diluar telanjang didalam, saya pernah menjumpai seorang mahasiswi yang menempuh pendidikan di sebuah universitas yang mewajibkan seluruh mahasiswinya berjilbab, membuka jilbabnya dipinggir jalan dan melambai- lambaikannya untuk menahan kendaraan, hanya berjilbab ketika kekampus selainnya dia memakai pakaian sexi yang sangat kontras dengan penampilan sebelumnya. Ketiga, Jilbab dimasa tua telanjang dimasa muda, banyak perempuan ketika diminta untuk berjilbab,  jawaban mereka beragam. Ada yang menjawab, belum siaplah atau hatinya belum mantap. Ada juga yang menjawab, ”Biar hati saya dulu yang berjilbab”. Kalau menunggu hatinya mantap atau siap, lalu kapan memakai jilbabnya? Kalau hati dulu yang berjilbab, kan bisa tuh sambil belajar memakai jilbab kita juga bisa sekalian belajar membenahi diri kita. Ada juga yang tidak memakai jilbab karena takut kecantikannya tertutupi. Emang kalau gak pakai jilbab cantik ya???mereka  baru mau mengenakan jilbab ketika sudah menginjak lansia(lanjut usia), padahal salah satu alasan kita diwajibkan memakai jilbab adalah untuk menutupi aurat(tubuh) agar tidak menimbulkan fitnah dan prasangka yang muncul karena nafsu. Termasuk sebuah bentuk hipermoralitas ketika masih banyak perempuan yang menganggap jilbab merampas hak –hak kodrati kaum perempuan bahkan dianggap sebagai penghinaan, tapi kita harus tahu dulu hak – hak kodrati seperti apa yang dimaksud, apakah kebebasan bekerja, berpartisipasi aktif dalam sosial, politik dan ekonomi ataukah kebebasan  berbaju minim, kebebasan ke klubing dan ke parti – parti dengan musik yang menghentak – hentak, kalau kebebasan seperti ini yang dimaksud maka betul!!!!!! jilbab adalah pengekang bagi kebebasan tersebut. Dalam konteks islam kebebasan adalah kemerdekaan manusia mengendalikan diri dan gerakannya dalam batas – batas syariah, dalam sejarah para shahabiyah dan istri – istri nabi  permpuan pun bebas berexpresi tanpa harus terbebani dengan pemakaian jilbab, justru sebaliknya jilbab mengingatkan kita untuk tidak terjebak pada berbagai manifestasi kebebasan yang didorong oleh nafsu – nafsu rendah. Lebih baik manakah kita memandang, jika seorang perempuan keluar rumah beraktifitas dengan penuh kesederhanann dan kewibawaan serta ketenangan dengan jilbab islami dibandingkan dengan perempuan yang menghabiskan waktu berjam – jam didepan cermin dan keluar dengan penuh keinginan memikat pandangan laki – laki padanya serta menjadikan laki- laki bertekut lutut dibawah nafsunya bahkan kehilangan akal sehatnya.
 Kehadiran Islam dengan seperangkat ajarannya, termasuk berkaitan dengan  penutup aurat adalah dalam upaya mengangkat harkat martabat wanita yang sudah terpuruk tersebut. Islam adalah agama fitrah. Semua isi ajarannya tidak ada yang bertentangan dengan fitrah, bahkan melindungi fitrah manusia. Memberi ruang yang cukup bagi fitrah manusia sebagai makhluk sosial untuk berinteraksi dengan sesama. Islam justru memberikan panduan agar interaksi tersebut dapat berjalan dengan baik, bermartabat, juga menjunjung tinggi nilai kemuliaan yang ada pada manusia sehingga kita tidak terperosok ke dalam kebebasan semu yang justru sangat merugikan. Jilbab sama sekali bukan belenggu, yang membatasi gerak dan langkah muslimah untuk bermuamalah. Justru sebaliknya sebagai landasan bermuamalah agar dapat berjalan dengan lebih baik, terhindar dari fitnah dan lebih memuliakan pemakainya, yang dalam ajaran Islam disebut saddudz dzara’i atau tindakan preventif. Menjaga kesucian, menutup pintu – pintu maksiat dan kemudharatan, dan mencegah berhembusnya fitnah. “Hai Nabi, katakanlah kepada istri – istrimu, anak – anak perempuanmu dan istri – istri orang Mukmin : ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka tidak di ganggu. ALLAH maha Pengampun dan lagi Maha Penyayang.” (QS Al- Ahzab : 59.). Di  dalam jilbab terselip fungsi ta’lim (pengajaran), tazkiyah (penyucian), tarbiyah (pembinaan), tashfiyah (pemurnian cara pandang) juga tarqiyah (peningkatan kualitas kepribadian). Maka tidak ada lagi alasan bagi kita parah muslimah khususnya IMMawati untuk  melakukan pendangkalan makna terhadap jilbab, salah satu simbol gerakan spiritualtas sebagai ciri gerakan IMMawati adalah menjadikan jilbab sebagai filter gerakan modernitas (sekularisme). Terakhir pada tulisan ini saya ingin menyampaikan bahwa, tidaklah dianggap berjilbab seorang muslimah yangb tidak bisa menjaga akhlaknya , walau secara fisik memakai jilbab sebab ada kesatuan antara dimensi fisik dan ruhaniah yang tidak bisa dipisahkan .jilbab akan mencegah kita dari penyimpangan dan kemerosotan akhlak serta menjadi imunitas diri terhadap hal yang mengancam kita dari dekadensi moral


NB: tulisan ini di buat berdasarkan analisis wacana tentang jilbab selama beberapa tahun dan berdasarkan analisis kebutuhan dinda – dindaku  immawati di pimpinan komisariat yang tak pernah bosan – bosannya memanggil saya untuk membawa kajian tentang jilbab bahkan hampir setiap minggu.....semoga tulisan ini mampu memberikan sedikit inspirasi buat kalian adindaku(tpi yang sering ikut kajian rutin pasti sdah sangat paham akan yang saya sampaikan pada tulisan diatas!!!!!!!!!!!!)
 Semoga Immawati hari ini bukan lagi menjadi” agent of change but to be the the key of change”